Idul Adha memiliki makna historis dan sosial. Makna historis dan sosial Idul Adha seyogyanya menjadi inspirasi umat Islam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT setiap hari.
Secara historis, Idul Adha menjadi momentum dalam mengabadikan pengorbanan Nabi Ibrahim yang bersedia melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putra satu-satunya yang beliau cintai, Ismail.
Hikmahnya dalam mencapai rasa cinta kepada Allah, kita harus siap mengorbankan segala yang kita cintai, entah itu uang, harta dan keluarga.
Bukan hanya benda materi yang harusnya dilepaskan untuk dicintai, tapi juga waktu dan pengorbanan harus ditujukan kepada Allah SWT, bukan kepada makhluk.
Maka momen Idul Adha dari segi historis adalah melatih umat untuk senantiasa berkorban secara ikhlas kepada Allah semata.
Sementara, efek sosial dari praktik qurban di Idul Adha ialah berbagi. Sebab tidak semua masyarakat Islam dapat setiap hari memakan daging kurban. Bahkan bagi kelompok tertentu, makan daging yang halal itu hanya setahun sekali, ketika Idul Qurban saja.
Selama ini, yang juga jadi kendala idul qurban ada dalam hal pemerataan. Makanya, sesama anggota masyarakat harus saling memperhatikan masing-masing tetangganya.
Bagi daerah yang memeroleh pengumpulan hewan lebih banyak karena didominasi orang-orang berada, disarankan agar membagi sebagiannya kepada daerah yang belum memiliki hewan qurban.
Beragam nama disematkan untuk kedatangan tanggal 10 Dzulhijah dalam kalender Islam. Di antaranya, hari tersebut diperingati sebagai Idul Adha, Hari Raya Haji dan Idul Qurban. Disebut Hari Raya Haji karena ada sebagian kaum muslimin yang menunaikan haji ke tanah suci dan melaksanakan wukuf di Arafah.
Sedangkan Idul Qurban disebabkan pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada umat Islam untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya meski belum mampu mengerjakan perjalanan haji.
Kesempatan tersebut salah satunya dilakukan dengan cara menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT.