Terapi Anak Autis Sebelum Siap Masuk Sekolah

Cara terapi anak autis sebelum siap memasukannya sekolah karena yang terpenting adalah melatih anak autis menjadi mandiri. Menurut Gayatri, banyak orangtua yang kewalahan mengurusi anaknya yang autis kemudian buru-buru menyerahkan tanggung jawab kepada sekolah. Padahal hal itu tidak dapat membuat anak autis menjadi mandiri, tapi justru membuat guru atau teman-temannya kewalahan.

anak autis

“Jangan terpaku pada baca tulis atau akademik, yang terpenting untuk anak autis adalah bisa mandiri,” jelas Gayatri Pamoedji, SE, MHc, Ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI).

Setidaknya, lanjut Gayatri, bila ingin memasukkan anak ke sekolah ada beberapa kesiapan yang harus dimiliki anak autis, yaitu:

  • Patuh
  • Mampu memperkenalkan nama di depan kelas
  • Berbaris
  • Duduk bersila di lantai
  • Makan dengan bantuan yang minimal
  • Minum dengan botol air minum
  • Ke toilet
  • Berjalan bergandengan dengan anak lain
  • Mampu minta tolong guru bila dalam kesulitan

Menurut Gayatri, suksesnya penanganan anak autis sangat bergantung dari tiga pilar utama penanganan autisme, yaitu diagnosa tepat, pendidikan tepat dan dukungan kuat.

“Jangan melulu pikirkan akademis tapi tentukan bakat anak. Jika anak sudah bisa mandiri dan dilatih bakatnya, maka kemungkinan bakat itu bisa menjadi peluang buat dia untuk mencari nafkah,” jelas Gayatri yang juga ibu dari anak autis.

Gayatri juga menjelaskan bahwa orangtua tidak perlu buru-buru menjalan terapi autisme yang mahal-mahal, karena kunci utama untuk terapi autisme adalah membuat anak mampu berkomunikasi.

“Boleh terapi yang mahal seperti terapi lumba-lumba atau apalah itu, tapi setelah tiga terapi dasar autisme sudah bisa dijalani. Terapi seperti lumba-lumba itu adalah terapi tambahan dan berfungsi untuk membuat anak relaksasi bukan menjadi mandiri,” jelas Gayatri.

Tiga terapi dasar autisme yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

  1. Terapi perilaku (Applied Behavioral Analysis), mengajarkan anak agar patuh.
  2. Terapi okupasi, untuk melatih kemampuan motorik halus atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan otot-otot kecil yang ada di dalam tangan, misalnya menulis, mengancing baju, memegang sendok, dll.
  3. Terapi wicara

“Jika ketiga terapi ini sudah bisa dipenuhi anak, maka boleh deh mencoba terapi relaksasi yang agak mahal seperti terapi lumba-lumba. Tapi kalau anak belum bisa bicara, masa iya mau diterapi lumba-lumba, memangnya lumba-lumba bisa mengajak anak bicara. Terapi lumba-lumba berfungsi untuk membuat anak lebih rileks. Bila orangtua tidak punya banyak biaya, maka cukup lakukan tiga terapi dasar itu yang bisa juga dilakukan orangtuanya sendiri tanpa banyak mengeluarkan biaya,” jelas Gayatri.

Gayatri menjelaskan memberikan terapi yang tepat ini termasuk dalam pilar pendidikan yang tepat. Jika anak sudah diajarkan tiga terapi dasar ini, maka anak bisa lebih siap dimasukkan ke sekolah.

Berikut Wawancara dengan Gayatri

Perjuangan menangani anaknya sendiri yang menderita Autis membuat Gayatri menekuni bidang tersebut. Ia mendirikan MPATI (Masyarakat Peduli Autis Indonesia), membuat berbagai seminar dan video penanganan dini Autis yang disebarluaskan gratis. berikut dikutip dari wawancara tabloid Nova  dengan Gayatri

Kepedulian Anda pada masalah Autisme sangat tinggi, bagaimana awal mulanya ?
Tahun 1990 anak pertama saya, Audwin Trito atau biasa dipanggil Ananda, lahir melalui proses vacuum extractie. Saya pun mengalami patah tulang ekor saat melahirkan dia dan dokter baru mengetahui sekitar sebulan setelahnya. Saat usia Ananda 18 bulan, dia tidak mau kontak mata. Saya bingung kenapa bisa begitu, hingga konsultasi ke beberapa dokter ahli. Katanya, tidak apa-apa. Mungkin hanya karena masih terlalu kecil. Tapi hingga usianya tiga tahun Ananda tidak juga bisa bicara. Saya pegang selalu menolak, dipanggil tidak menengok, kelakuannya juga hiperaktif.

Saya merasa ada sesuatu yang salah pada anak Ananda. Pemeriksaan menyeluruh sudah dilakukan, tetap tidak ditemukan apa-apa. Dokter malah bilang, karena ibunya wanita karier anaknya jadi kurang perhatian dan kurang kasih sayang. Terus terang saya kesal dikatakan begitu. Saat itu saya memang berkarier sebagai direktur keuangan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang hotel dan restoran di Jakarta, dan juga mengajar di Universitas Sahid. Tetapi tidak berarti saya menelantarkan anak saya, kan.

Apa upaya Anda selanjutnya ?
Berulangkali saya bawa Ananda ke dokter, tetapi hanya dibilang terkena virus tanpa diberitahu apa dan bagaimana pengobatannya. Saya terus mencari informasi, membaca banyak buku soal terapi anak-anak kelainan. Di usia 4 tahun Ananda diperiksa di Sydney dan divonis mengalami keterlambatan bicara (language delayed).

Pulang ke Jakarta Ananda mulai masuk TK. Tetap saja dia tidak tertarik berinteraksi. Satu-satunya objek yang diperhatikan Ananda adalah mobil. Saya sampai tempel stiker mobil-mobilan di kening saya selama tiga bulan, supaya dia mau kontak mata dengan saya. Dua tahun berlalu, kelainan Ananda makin terlihat. Dia tak juga mau bicara, tak mau berada dalam kelas, bahkan menangis tiap digantikan baju. Wah, gurunya pun sampai kewalahan. Dia hanya mau lari berputar-putar terus, hingga harus ganti baju 11 kali dalam sehari. Pernah juga sekali waktu, saat dalam pesawat menuju Belanda, Ananda hampir membuka pintu exit pesawat.

Sempat putus asa menghadapi semua itu ?
Tentu. Saya berusaha menganggap itu cobaan yang harus dihadapi. Tapi disisi lain saya merasa ini tidak fair. Banyak orang yang jelas-jelas menelantarkan anaknya, tapi toh mereka sehat-sehat saja. Sementara saya yang sejak mengandung betul-betul menjaganya, kok jadinya begini. Saya frustasi dan putus asa. Saya selalu bertanya-tanya, ‘apa salah saya?’

Syukur saya punya keluarga dan teman-teman yang baik. Saya percaya Tuhan punya skenario sendiri dalam hidup saya. Mungkin saja kalau Ananda tidak dilahirkan seperti itu, saya sudah jadi orang yang sombong. Sejak kecil saya hidup berkecukupan dan mudah mendapatkan apapun. Nah, dari situ saya sadar bahwa hal sekecil apapun harus kami syukuri.

Anda juga sampai pindah ke luar negeri demi pengobatan anak, ya?
Ya, di tengah kebingungan, saya dengar di Australia ada sekolah yang bisa menangani anak-anak seperti itu. Tahun 1996 saya dan Ananda berangkat ke sana, tapi ternyata sekolah itu terlalu penuh. Kami mengikuti empat macam terapi di Australia selama tiga bulan, yaitu speech, okuvasi, akademis, dan matematis. Para terapis di sana melihat kelainan Ananda sebagai ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau hiperaktif.

Mengigat masa terapi harus continue, saya dan suami memutuskan menetap di Australia mulai 1997. Ananda masuk ke sebuah sekolah umum dekat rumah yang jumlah muridnya lebih sedikit. Saya ikut mengajar di sana sebagai guru pendamping. Selain itu, karena ingin belajar banyak tentang anak-anak yang mengalami kelainan, saya sekolah selama setahun di TAFE College, Australia, mengambil Special Needs Children.

Bagaimana kemudian saat putra Anda divonis menderita Autis ?
Saat Ananda usia 9 tahun, saya bertemu Jura Tender, seorang psikolog senior dan ahli autisme di Australia. Dengan galaknya beliau bilang, Ananda menderita Autis dan saya sudah sangat terlambat menanganinya. Saya betul-betul kaget, syok dan marah. Saya toh sudah berusaha setengah mati, rela pindah negara dan mengikuti terapi demi Ananda. Saya bilang dalam hati, beliau boleh memvonis terlambat, tetapi saya adalah ibunya. Saya tahu apa yang bisa saya lakukan untuk anak saya. Dan insting saya sebagai seorang ibu saat itu mengatakan, saya yakin bisa.