Celaka Terlilit Hutang Karena ingin Dihargai Manusia
Akhir akhir ini kita dapat melihat betapa masyarakat kita sangat bersemangat dalam berhutang untuk mendapatkan barang keperluan dan perkara yang mereka harapkan. Hutang pada sebagian orang telah menjadi budaya untuk menunjukkan kesuksesan dan bermegah-megah dengan harta dan barang yang mereka miliki. Istilahnya biar miskin asal bergaya nampaknya makin menular dalam masyarakat dewasa ini.
Tanpa disadari hakikatnya masyarakat kita kini telah terperangkap dalam fenomena suka berhutang walau membahayakan dirinya , tetapi anehnya kebiasaan berhutang ini mereka anggap menunjukkkan dirinya sebagai suatu level kelas tertentu, karena mereka dipercaya oleh perbankan.
Amat pilu dan menyedihkan lagi, yang terlibat dalam fenomena ini juga adalah orang Islam yang memiliki akidah dan pegangan mereka. Hari demi hari keadaan ini makin memilukan apabila aktivitas berhutang telah menjadi asas kehidupan masyarakat dewasa ini.
Tidak dinafikan berhutang adalah sesuatu yang dibolehkan dalam Islam bagi mereka yang memerlukan dan berhajat kepadanya, namun dalam masa yang sama perlu juga kita tahu bahwa Islam sesekali tidak menggencarkan umatnya untuk berhutang dan dijadikan sebagai cara untuk bermewah-mewah, bermegah-megah tanpa alasan asas dan keperluan yang mendesak.
Lebih memilukan lagi terdapat sebagian orang yang beranggapan hutang adalah merupakan mekanisme, kaedah dan teknik terbaik untuk mencapai keuntungan serta mengekalkan kekayaan sebuah perusahaan atau individu.
Kesannya makin ramai individu bahkan yang memiliki kemampuan keuangan pun melakukan transaksi apapun telah memilih berhutang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan seperti membeli rumah, mobil, perangkat rumah dan sebagainya. Alasan mereka, jika transaksi dibuat secara tunai maka mereka merasa akan rugi.
Semakin banyak transaksi berdasarkan hutang bermakna makin berkembang amalan riba, penghianatan , penyogokan , penyimpangan muamalah , penipuan, pemerasan dan korupsi , pembunuhan, makin kurang produktivitas kerja, keruntuhan rumah tangga yang meningkat dan sebagainya.
Ini karena penyakit suka berhutang merupakan salah satu faktor penyebab dan penyumbang kepada masalah tersebut.
Tamaknya akan harta dan cintakan dunia telah melupakan manusia pada akhirat. Kecintaan mereka pada dunia melupakan dampak buruk dari perbuatan tersebut.
Mereka lupa pada sabda Rasulullah SAW: “Diampunkan semua dosa bagi syuhada, kecuali jika dia mempunyai hutang (kepada manusia).” (Hadis Riwayat Muslim, 6/38).
Mereka lupa Rasulullah sentiasa mohon dilepaskan dari belenggu hutang.
Dalam satu hadis diriwayatkan bahawa Baginda kerap mengajarkan kepada umatnya supaya berdoa dilepaskan daripada hutang: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu daripada dosa dan hutang.” Lalu baginda ditanya: “Mengapa engkau sering meminta perlindungan daripada hutang, wahai Rasulullah?” Baginda menjawab: “Jika seseorang berhutang, apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mengingkari.” (Hadis Riwayat Al-Bukhari, 1/214).
Tidak sedikit juga dewasa ini, individu yang suka berhutang atau meminjam dengan niat untuk tidak memulangkan kembali.Mereka ini lupa pada sabda nabi SAW “Barang siapa meminjam harta orang lain dengan niat ingin mengembalikannya, Allah akan mengembalikan pinjaman itu, namun siapa yang meminjamnya dengan niat ingin merugikannya, Allah akan merugikannya.” (Riwayat Al-Bukhari, 2/83).
Budaya suka meminjam berpotensi menyebabkan seseorang individu menjadi muflis (bangkrut) diakhirat nanti. Sekiranya mereka tidak dapat melunaskan hutang mereka didunia, mereka akan dituntut membayarnya di akhirat.
Kesimpulan
- Islam membolehkan meminjam dan berhutang bagi mereka yang memerlukannya. Namun demikian, ia tidak boleh dijadikan sebagai cara dan wasilah untuk bermewah mewah dan bermegah-megah , atau dibuat dengan berleluasa tanpa keperluan dan asas yang benar.
- Cintakan dunia, tamak, riya’, takabbur, hasad, suka pamer dan tidak bersyukur dengan yang ada adalah faktor penyumbang kepada tabiat suka berhutang yang akan membawa kepada kesengsaraan di dunia dan akhirat. Untuk mengatasi sikap suka berhutang, harus mengetahui faktor-faktor yang menjurus kepadanya dan segera diatasi dan diperangi dengan gigih dan sabar.